Purwanto, SH (PAIF Kemenag Kab. Aceh Singkil)
Konsep Moderasi Beragama yang beberapa tahun terakhir ini di gaungkan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia harus dimaknai secara positif oleh semua pihak. Namun demikian pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada masyarakat karena begitu banyak pendapat dan pandangan yang muncul tentang makna dan maksud dari moderasi beragama yang sedang di gaungkan di Indonesia. Oleh karena itu untuk meminimalisir perbedaan pandangan, pemerintah telah mengadakan berbagai macam kegiatan untuk mewujudkan satu pemahaman tentang moderasi beragama.
Bangsa Indonesia sebagai negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya memiliki peran dalam menciptakan perdamaian sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa yang melandaskan berdirinya negara ini sebagai dar as-salam (negara perdamaian) sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Selanjutnya negara ini juga terbentuk karena adanya dar al-ahdi wa al syahadah (Negara kesepakatan dan perjanjian) sebagaimana adanya perubahan piagam jakarta untuk mengakomodir semua pihak. Bersandar pada falsafah historis itu, kemudian secara bersamaan mengiringi konsep moderasi beragama yang diartikan sebagai jalan tengah (wasthiyatul islam), yaitu sebuah titik temu sikap dan cara pandang yang mengedepankan nilai keseimbangan, (tawazun) keadilan (adl) serta toleran (tasamuh).
Konsep moderasi beragama yang di sedang digalakan sekarang ini oleh Kementerian Agama telah mendapat dukungan dari kementerian Bappenas dan telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)2020-2024. Diantara rincian Moderasi Beragama diterapkan pada 5 metode kerja penguatan, yaitu pertama cara pandang, sikap dan praktik jalan tengah, kedua harmoni dan kerukunan umat beragama, ketiga penyelarasan relasi agama dan budaya, keempat kualitas pelayan kehidupan beragama, kelima pengembangan ekonomi dan sumber daya keagamaan.
“Moderasi Beragama Melalui Cara Pandang, Sikap dan Praktik”
Rincian moderasi beragama yang utama adalah melalui penyelarasan cara pandang, sikap dan praktik. Melalui cara pandang ini lah harus ada persamaan persepsi yang tentunya ini tidak mudah dilaksanakan karena setiap orang akan mempunyai pandangan yang berbeda.
Sebagian besar penulis dan sarjana muslim Indonesia merujuk konsep “moderasi” pada konsep wasathiyah, yang secara harfiah berarti tengah atau pertengahan. Ummah wasatha` berarti umat yang pertengahan atau berada di tengah. Namun makna etimologis kata wasatha’ tidak sesederhana itu. Beberapakamus utama bahasa arab mengindikasikan makna yang lebih khusus. Kamus al- Ghaniy, Mu`jam al-lughah al-Arabiyyah al-Mu`ashirah, juga al-Wasith menunjukan bahwa kata itu bukan berarti ditengah, menengahi, atau pertengahan. Ketiga kamus itu bersepakat menyatakan bahwa dalam kata wasath terkandung makna Al-haqq (kebenaran), al-adl (Keadilan), dan al-syarafah (kemulian). Dengan kata lain, seorang wasith adalah orang yang dianggap orang yang berpegang pada kebenaran, keadilan dan sekaligus juga orang yang dihormati ditengah kaumnya, atau ditengan kelompoknya.
Lantas moderasi beragama menurut penulis sejatinya jalan tengah dalam beragama atau cara beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemulian. Umat yang wasatha` bukanlah umat yang diam tidak berpihak, tetapi umat yang selalu berpegang pada kebenaran, bersikap adil dan menjaga kemuliaannya. Oleh karena itu jika ada pihak yang menodai kebenaran universal yaitu kebenaran yang tidak hanya benar menurut pandangan pribadi, kelompok atau golongannya saja tetapi kebenaran untuk seluruh sekalian alam/kebenaran yang dapat diterima oleh khalayak umum, maka umat yang wasatha` harus berani berpihak kepada kebenaran itu misalnya konflik dipalestina umat yang wasatha` harus berani menyatakan sikap yang jelas.
“Moderasi Beragama, Bukan Moderasi Agama”
Pandangan yang keliru mengenai konsep moderasi beragama masih bermunculan di benak masyarakat bukan hanya di kalangan masyarakat umum saja tetapi terjadi juga di tokoh agama, para pendidik dan penceramah. Agama tidak perlu di moderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan, dan keseimbangan. Jadi bukan agamanya yang harus dimoderasi melainkan cara pandang dan sikap umat beragama dalam memahami dan menjalankan agamanya yang harus moderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstrimis, tapi tidak sedikit orang yang memaknai dan menjalankan ajaran agamanya secara ekstrem.
Bila dikaitkan dengan islam, moderasi beragama bukan hal baru hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya piagam madinah yang secara rinci mengatur kehidupan beragama, sosial, ekonomi bahkan politik. Berkaitan dengan agama tentunya kita semua paham bahwa keyakinan umat islam tidak bisa ditawar-tawar lagi hal ini sudah di contohkan dan di patenkan dalam kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, yang dengan tegas menolak untuk bertoleransi dalam hal keyakinan yang dikuatkan dengan turunnya Surat Al-Kafirun yang menyatakan bagiku agamaku dan bagimu agamamu.
Terakhir sebelum penulis menutup tulisan singkat ini perlu di sampaikan dalil yang menjadi rujukan umat islam sebagai umatan wasatha` (moderasi) adalah Q.S. Al- Baqarah 143. Dalam ayat tersebut Allah Berfirman, “ Dan Demikian lah kami menjadikan kamu ummah wasatha` dan agar kalian menjadi saksi atas manusia…” Menarik untuk dicermati bahwa ayat ini muncul setelah ayat tentang konflik orientasi, perbedaan paham tentang qiblah, arah pikiran, arah cita-cita dan arah tujuan. Seakan-akan Allah hendak mengatakan, tidak penting orientasimu kemana, karena kebenaran itu ada dimana-mana (qul lillah al-masyriq wa al-maghrib). Ketika begitu banyak orientasi, begitu banyak arah yang dituju, yang harus dilakukan adalah istiqamah menempuh jalan petunjuk yang paling benar/ kokoh rambu-rambunya (yahdi man yasya ila shirath mustaqim).